Selasa, 22 Oktober 2013

Aku yang Masih Mendendam

Atas luka pedih yang telah tertoreh, mendendamlah aku.
Niat memang bukan untuk menyimpan selamanya.
Tapi keikhlasan tak kunjung tumbuh bersemayam.
Aku sedang mencoba belajar dari selembar daun kering
yang tak memberi amarah pada angin yang telah menjatuhkannya.
Pun meski aku tahu hati mendendam hanya menyakiti diri.
Kepada Tuhan yang Maha Adil aku meminta pemakluman.
Sepotong hati seorang sahaya ini tak bersih, aku mengaku.
Demikian pembelaan atas dendam yang masih kujaga.
Biar kusimpan sampai celaka tigabelas menghampiri sang penebar dendam.
Aku tak peduli seperti apa hidupnya, tapi ia harus tertusuk lebih sakit.
Mengaduh pada rintihan terperih.
Memang dendamku dendam yang ingin membalas.
Kepada ia yang jiwanya membusuk, akan datang sesuatu bergada duri beracun memecah kepalamu.
Hingga bercecer seluruh berserak tak menentu.
Sebut aku iblis, maka kau lebih dari pada itu.

Soal Benar Salah

Soal benar salah tak ada acuan yang pas benar.
Sama seperti memilih pakaian
Sekalipun indah tiada tara, tak akan sesuai dipakai laki-laki, karena memang sebetulnya pakaian perempuan.
Tapi kita ini, manusia yang katanya punya akal paling tinggi dari seluruh makhluk selalu merasa paling benar.
Sampai-sampai ada perang, bahkan perang saudara.
Akal tak lagi berguna, yang penting nafsu.
Nafsu memporak-poranda, nafsu menghasut, nafsu menghujat, nafsu mengadili.
Tapi semua terjadi tanpa akal.
Semua terjadi dalam selubung yang busuk.
Hakim-menghakimi sudah wajar saja, seperti makan nasi.
Maka tak salah peribahasa gajah dan semut.
Semu ibarat kesalahan orang.
Gajah adalah kesalahan sendiri.
Gajah didepan mata sama sekali tak terlihat, tapi semut di ujung samudera bisa jelas kelihatan.
Sama seperti titik hitam diselembar kertas putih.
Yang diumbar titik hitamnya, bukan banyaknya sisa putih yang tersisa.

Selasa, 08 Oktober 2013

Pukul Dua

Disini hanya ada aku, dia dan hujan. Sebenarnya aku bisa saja nekad menerjang curah-curah air itu kembali kerumah, dan membenamkan diri ditebalnya selimut. Tapi aku merasa rugi bila pergi dan membiarkannya disana sendirian. Gadis itu terlalu menarik untukku biarkan begitu saja. Dia berdiri mematung dibawah rimbun pohon, mendongak mengamati jejatuhan air langit tanpa ekspresi apa-apa. Malam-malam begini mustahil melihat hujan, jika saja ia tak berdiri berdekatan dengan lampu jalan.

Aku tau ini pukul dua, jalanan sudah sepi dari kendaraAN. gadis itu menumbuhkan ribuan pertanyaan dibenakku. Diantara dinginnya udara pagi buta. Dia berdiri diseberang jalan itu sudah sejak pertama aku masuk ke minimarket dua puluh empat jam ini. Tak ada tanda-tanda apapun yang membuatnya bergerak, meski sesenti.

Ditanganku sudah ada sepelastik cemilan dan minuman bersoda. Aku tadi sedang berada ditengah tugas kuliah, dan mendapati perutku mulai keroncongan. Beruntung minimarket ini tak jauh dari kontrakan tempatku tinggal. Tak ada hujan ketikaku keluar. Tapi kini aku terjebak. Diantara hujan dan keberadaan gadis itu.

Tak ada siapa-siapa disana. Hanya dia, lampu jalan, dan hujan. Kedua tangannya masuk ke saku jaket dikedua sisi tubuhnya. Tatapannya mengarah pada cahaya lampu seolah mengagumi penuh perasaan. Dia jelas kedinginan. Ada naluri yang mendorongku sekuat tenaga agar aku beranjak mendekati gadis itu. Tapi aku mengabaikannya. Aku tetap pada tempatku berdiri, bergeming, mengikuti apa yang ia perbuat. Bedanya ia hanya menatap hujan, sedang aku tajam menatapnya.

Aku gugup tanpa aba-aba. Dia mengalihkan pandnagannya dari hujan menjadi aku. Dia sama sekali tak memberiku celah untuk sempat melempar pandang kearah lain. Anehnya dia memberiku senyum. Senyum yang menurutku menjadi senyum terindah dari seorang gadis. Kemudian untuk kedua kalinya aku dibuat menjadi lebih pengecut, karena aku tak berani datang mendekatinya. padahal naluriku sudah begitu berambisi untuk menyuruhku berlari menyeberangi hujan. Keberanianku hilang sudah.

Matanya kembali mengabaikanku. Dan aku menunduk, memandangi ujung kaki, tanpa berani mengangkat muka lagi. Ini adalah saat dimana aku murka pada diriku sendiri. Aku mencari-cari keberanianku diantara jari-jari kaki. Tapi disana hanya ada genangan air.

Tiba-tiba genangan air disekitarku menguar. Gadis itu sudah berdiri disamping kiriku. Aku memandanginya sekejap mata. Ada tarikan senyum menawan disudut bibirnya. Senyum yang benar-benar membekukanku. Pandanganku kembali beralih ke jari-jari kaki, lebih cepat dari yang kuduga. Sial, padahal aku masih ingin menatapnya lebih lama. Ternyata kepengecutanku sedang berada diambang batas normal.

"Kenapa kau seolah takut menatapku?"

Suaranya, ini suara paling nyaman terdengar oleh telingaku. Dan lagi-lagi aku terjebak dalam kungkungan kepengecutanku sendiri. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata, membalas pertanyaaannnya. Dan dia paham, sama sekali paham. Karena detik erikutnya dia mulai menceritakan apa yang ia lakukan. Menjawab segala tanya  yang hanya meredam dalam benakku.

"Aku senang dengan malam. Juga hujan. Aku bukan siapa-siapa. Dan aku tak ingin apa-apa. Aku tau ini pukul dua pagi buta. Seharusnya semua orang sedang terlelap. Tapi aku justru keluar dan berdiam diri ditengah hujan. Kedengarannya memang sama sekali tak masuk akal. Tapi aku terlalu mencintai malam dan keheningan, terlebih ditengah hujan. Bukan apa-aa, aku hanya merasa bisa memahami diriku sendiri [ada saat begini. Sekumpulan titik-titik air yang jatuh itu mengingatkanku pada amarahku sendiri. Terkadang aku iri pada langit, ia bisa menangis. Meski demikian ia tetap bisa memberi berkah. KAu tahu hujan terkadang membawa bencana. Tapi aku mohon, berpikir positiflah. Langit itu menagis, tapi tangisannya tetap memberi senyum pada ladang-ladang. Aku ingin bisa menangis seperti itu."

Bicaranya berhenti disana. Entah untuk memberi jeda, entah haus, entah menunggu tanggapanku, entah ceritanya memang sampai disana saja. Tak ada tanda-tanda kemungkinan mana yang benar, benakku kembali bertanya-tanya.

"Tataplah aku. Apakah aku terlalu aneh begimu?"

Aku tau, seluruh tubuhnya telah menghadap kearahku. Menunggu sedikit reaksi dariku. Untungnya mataku berani menatapnya. Kali ini lebih lama. Kemudia aku menggeleng sebenta, sebelum kembali terpekur kearah jari-jari kaki.

"Maukah kau datang lagi esok? Aku ingin tau ceritamu. Aku harap kau punya cerita tentang hujan."

Dan dia berjalan pelan, beranjak meninggalkanku. Mungkin dalam hatinya mulai mengumpat tentang aku, yang hanya bisa menatapnya sekejap, dan memberikan sebuah gelengan pelan tanpa ada sepotong suara.

"Jangan..."

Satu kata telah membuat tenggorokankutercekat. Aku butuh ekstra keberanian, tapi sialnya tak ada siapapun yang bisa memberiku bantuan. Aku tau dia berbalik, tapi diam ditempat. Mungkin terlalu kaget pada apa yang aku ucapkan, atau mungkin ia mulai terperanjat tak menyangka kalau aku bisa berbicara.

"Jangan pergi, jangan menunggu esok hari. Tak bisakah kau tetap disini sekarang. Aku tak memiliki kesabaran untuk menunggu kehadiranmu esok. Maka, janganlah pergi."

"Terimakasih kau telah berani meminta. Aku memang mengharapkan kau bisa berucap demikian."

Maka aku berjalan disisinya, mencari tempat teduh lainnya. Ada jarak yang konstan antara lengan kiriku dan lengan kanannya. Kini ia tak lagi berkata-kata. Begitupun aku.


Pukul dua dihari itu aku menemukannya. Dia yang penuh cerita. Mencintai malam dan hujan. Yang menungguku erani mengucap sepotong kata "Jangan". Kemudian aku dan dia berteman, menjadi sahabat yang saling mengerti sekalipun aku tak pandai berkata-kata dan tak berani menatapnya. Aku terharu karena ia benar-benar mengerti.

Pukul dua dini hari itu, ada dua perempuan berjalan bersisian ditengah hujan tanpa berkata-kata tapi mampu saling mengerti. Persahabatan yang tak berbatads pada kata-kata.

***

Untuk dia yang bersahat, kukenang ia.
Selamanya...

Rabu, 02 Oktober 2013

October 2nd

Di hari batik ini, terjadi beberapa hal secara bersamaan, yang mana bakal keinget terus-terusan.
Pertama, seseorang yang namanya udah aku sebut di postingan sebelumnya, dia yang beberapa waktu ini mengisi pikiran-pikiranku yang super sibuk, sedang bertugas keluar kota, keluar pulau yang jauh sekali dari sini, untuk beberapa bulan hampir setahun. Antara sedih karena beberapa waktu otomatis gak bakal ketemu sama sedih ga bisa nerusin perasaan ini. Tau sendiri kan, aku suka, entah dia seperti apa. Sebetulnya aku masa bodoh tentang dia berperasaan atau tidak padaku, tapi paham kan, sesekali aku bisa merasa tak sabar, sesekali aku bisa merasa penasaran setengah mati sebenernya dia sendiri bagaimana kepadaku. Disisi lain tentunya aku juga takut untuk menerima kenyataan kalau-kalau dia tidak merasakan hal yang sama denganku. Dilematis. Situasi seperti ini tentu saja gak mengenakkan, tapi mau bagaimana, aku tidak punya cukup keberanian.

Sekarang dia sudah berada ribuan mil jauhnya dariku. Aku tidak bisa apa-apa. Meneleponnya? Jangankan melakukan itu, memulai mengetik untuk sms dia aja kadang aku deg-degan sampai berasa jantungku meledak. Ya Tuhan, aku sebetulnya bukan tidak menginginkan keadaan yang seperti ini, tapi dengan kondisi aku yang sendirian, aku kadang sulit mengontrol perasaanku sendiri.

Dia sudah berada bermil-nil jauhnya dariku.
Sedih?
Sudah tentu.

Sebaiknya bagaimana lagi aku harus bersikap? Mungkinkah aku harus menghentikan sampai disini perasaan ini, karena bagi logikaku, semua ini tidak berguna. Logikaku berkata, perasaanku ini takkan berbalas. Tapi siapa bisa menghentikan perasaan seketika?

Cerita lainnya, tadi siang akhirnya aku serahkan laptop dipegadaian, fiuh. Ada hal mendesak yang harus dibayar, mau gak mau, suka gak suka, akhirnya kugadaikan.

Demikian cerita hari ini, Selamat Hari Batik!

Selasa, 10 September 2013

Kepada Semesta...

Ah! Aku sedang suka rambutmu. Elvis!

Siapa kira kamu cocok dengan potongan ini. aku makin sering curi pandang, rambut Elvis, matamu yang menawan, perpaduan sempurna untuk disatukan. Aku mulai kehilangan kata-kata lagi. Kamu makin sulit untuk diabaikan. Mungkin aku jadi makin susah menyembunyikan perasaan.

ah! Semesta, apa yang bisa kulakukan? Aku tidak cukup berani untuk ambil resiko lalu patah hati lagi.

Biar saja aku jadi pengagumnya dari jauh. Meski aku ingin bersamanya, aku tidak cukup percaya diri untuk menyebut aku cukup menarik untuknya.

Ah, semesta! aku bisa apa?

Aku takut makin kesini degub jantungku bisa terdengar jauh sampai rumahnya.

Ah semesta! aku bisa apa?

Sedih memang bila cinta bertepuk hanya dengan sebelah tangan, yang kudapat hanya tepukan angin belaka. Aku takut aku terlalu percaya diri dalam menyukainya.

Jangan biarkan ia jauh dariku, semesta.

Bilang padanya aku suka. Aku sampai menangis saat aku bilang suka, tapi selalu tak bisa didepannya. Karena rasa, selamanya hanya boleh kusimpan dalam dada.

Semesta, cukup sampaikan aku sungguh suka padanya. Pada pandangan matanya, pada jelmaan Alvis Presley dirambutnya.

Semesta, aku menyukainya!!

Kamis, 05 September 2013

Kusimpan Iri pada Gelas Kopi

Aku bersedia menjadi gelas-gelas kopi nyang diteguk habis diantara kantuk yang tak kunjung lepas, diantara candaan teman sebaya, bahkan rapat rekan kerja. Gelas kopi yang berbahagia. Siapa sangka gelas kopi lebih merdeka. Aku menyimpan sejuta iri pada gelas kopi.

Menjadi manusia tak henti terbelit duka, padahal sudah kutumbuhkan cinta. Kupikir aku bisa mendapatkan balasan yang sama,m tapi duka, mereka hanya menebar duka. Aku iri pada gelas kopi.

Rabu, 04 September 2013

Zaki Zamani

Setidak-istimewa apapun dia, aku hanya butuh memejamkan mata dan melihat dia dengan senyumnya yang khas. Aku cuma butuh mata kepala dan mata hati yang sepakat memandang serempak. Cinta selalu sulit dijabarkan. Seperti oleh Chairil Anwar, aku akan bersajak padanya: 'Antara kita Mati datang tak membelah'.

Ah engkau rasa, aku jadi salah tingkah. Jangankan berkata-kata, yang bisa kulakukan hanya mendengar degupan jantungku yang membahana.

Kali ini aku tak bawa cemburu ikut serta, dia kukurung dalam brangkas yang kuat dari baja. Aku jdi bebas merasa tanpa bisa cemburu buta. Aku tak berani bilang ini cinta.

O suara alam seketika merdu, apa mereka mulai mengeps nada dan lirih mengalunkannya?

Dia yang belum bisa kusebut cinta, masuk berenang-renang dalam darah dan mengetuk-ngetuk tulang rusuk. Aku gemetaran. Ku sapa matari, aku gembira Hey!

Aku dan Awan yang Berarak

Matahari itu adalah makcomblang saya. Dia yang mempertemukan saya dengan awan, saya bisa memandang, jatuh cinta sampai terus-terusan mengejarnya. Tanpa matahari tak mungkin kami bertemu dan saling menatap. Saking jatuhnya dalam cinta, saya coba menggapai. Mencari dakian tertinggi biar sampai padanya. Saya suka dia sendiri dan menghampiri. Tapi saya lebih suka lagi dia berarak bergerombol dn saya yang pergi mengejarnya.

Suatu hari saya bercengkerama dengan matahari, katanya saya perlu kesuatu tempat dimana ada banyak awan berkumpul. Saya kemudian diajakny kesana. Dan saya betulan jumpa awan-awan.

Sayang, kadang matahari terlalu cemburu pda kami, dia menghilang dan aku kesusahan menemui sang awan. Hanya matahari yang bisa membatuku menemuinya.

Matahari beranjak

Awan-awan buram

Mendung

 Disebuah puncak gunung

Kamis, 04 Juli 2013

Pria Berkemeja yang Kunikmati Senyumannya

jangan kau patahkan aku, hujan
dengan rintikmu yang jatuh perlahan
diseberang sana ada pria berkemeja yang kunikmati senyumannya
bagaimana aku berbahagia, kau tutupi dengan tiraimu berjuta
aku sudah dipenjara oleh rasa rindu yang tak kunjung mereda
aku dikungkung duka saat awan tak lagi gemiru mengaraknya
aku setia jangan kau buat waktuku kian lama
hujan, beri aku tangan untuk menyingkap tirai air yang kau jatuhkan
aku menunggu saat-saat dia tersenyum dan aku bisa menikmatinya

Rabu, 17 April 2013

#ChapterJogja


Sejenak berhenti dan putar masamu ke lima bulan lalu ditanggal yang sama dengan hari ini. Disanalah dimulai pertemuan yang mayoritas saling tidak kenal satu dg lainnya. Ada kenangan yang diam-diam melekat sangat erat di memori otak. Siapa sangka kita dengan media social kemudian saling berani bertatap muka. Pada awal masa itu kita sudah berani untuk menaruh rasa percaya. Tanpa kita sadari kita sudah terikat, tanpa pretensi tanpa ekspektasi. Lima bulan secara logika bukan waktu terlalu panjang. Tapi lihat apa yang sudah tercipta disini, aku merasakan semacam persaudaraan. Entah pada kalian, bisakah merasakan hal yang sama. Yang jelas, aku yang awalnya tidak terlalu berharap banyak sekarang menganggap ini penting. Kalian semua sudah menjadi bagian penting dalam kisah singkat hidupku. Meskipun sebagai pengakuan, gunung lah yang menyatukan kita, membuat kita punya 1 misi, tapi dibalik itu rasa persaudaraan sudah lebih dulu membentuk diri didalam hati kita masing-masing. Sampai ada yang mengaku sebagai anggota persaudaraan ini tapi tidak diaku, bukankah itu menyedihkan? Chapterjogja hanyalah sebutan, hanya sebuah nama yang sebetulnya tidak perlu diagungkan. Alihkan keagunganmu pada persaudaraannya saja. Sesampai entah karena alasan apa, mungkin sebuah penghormatan atau mungkin sebetulnya ejekan buatku panggilan Founding Mother itu. Harap diperhatikan, disini aku tidak mengharap pujian, tidak mengharap predikat tinggi, tidak membutuhkan penghargaan apapun. Kebersamaan kita yang terjaga itu sudah lebih dari cukup. Tapi jika boleh berharap lebih, sebagai seorang yang dianggap Founding Mother, aku ingin mengharapkan kebersamaan ini jangan terpecah belah. Masalah orang perorang yang sekiranya bisa merusak ini semuanya, harap mampu mengendalikan diri. Aku khawatir beberapa dari kita ada yang tidak bisa professional. Soal ada yang saling suka, suka tapi bertepuk sebelah tangan, yang pacaran, segala bentuk hubungan bersifat pribadi janganlah sampai mengganggu kebersamaan yang sudah terjalin. Jika suatu saat keadaan itu rusak (semoga tidak) malah kemudian jadi saling benci, bermusuh. Tapi aku khawatir jika sudah masalah perasaan masuk kedalam sini, banyak yang tertolong lagi. Kita tidak perlu sebut nama, ini bermaksud teguran secara tidak langsung bagi yang merasa. Jangan sampai satu dua orang diantara kita menyebabkan perpecahan. Sebab sesungguhnya kita sudah sekuat baja. Tapi sayang kekuatan kita bagai sisi mata uang yang datang berbarengan dengan kekuata rapuh bak porselen. Jagalah kawan kawan, bukan demi aku tapi demi lima bulan yang berarti ini. Kalian lihat sesingkat itu kita mengenal sudah lebih dari kawan lama yang saling tukar cerita.

Aku datang pertama kali bukanlah sebagai pendaki. Tapi aku datang sebagai orang bodoh yang ingin belajar untuk menjadi pendaki. Aku diremehkan karena ini, itu tak jadi soal. Toh aku memang datang sebagai orang remeh, tak tau apa-apa. Disini tidak ada senioritas, bagiku, entah bagaimana kalian memandang. Siapapun yang bergabung, rangkullah sebaik-baiknya sekalipun baru pernah liat gunung ditelevisi. Ini bukan ajang saling ejek, kamu yang tidak pernah naik gunung berarti kau remeh disini. Kalau ada yang punya pikiran seperti itu, rubahlah segera.
#ChapterJogja

Rabu, 16 Januari 2013

Bagaimana Besok?


Kehidupan yang sedang berjalan ini sebetulnya jauh dari harapan dalam diriku. Banyak kejadian-kejadian yang ingin kutentang tapi kemudian kujalani saja. Munafik memang, tapi aku terlalu lelah untuk protes, karena pikiran orang lain berbeda denganku. Mereka menjalani seperti apa yang sudah berjalan selama ini. Padahal menurut pandanganku itu salah.
Kadang aku muak untuk hidup. tapi menghadapi kematian akupun takut. Banyak pergulatan terjadi dalam diriku sendiri. Barangkali dilihat orang sebagai kegilaan. Aku bicara sendiri. Aku tak suka bicara dengan orang lain. Karena sering buah pikirku tak dimengerti siapapun. Aku dipandang aneh dan menentang asas social. Tapi memang begitulah kehidupan kan, hukum mencontek dan hokum  ikut-ikutan selalu menjadi tren.
Kadang aku iri pada pribadi-pribadi yang berani menentang, dan kemudian berjalan sendiri semaunya. Tak peduli dengan apa kata orang lain. Aku begitu. Tapi aku masih memikirkan tentang apa kata orang lain. Menjalani kehidupan memang sulit.
Besok adalah hari dimana aku akan menjalani undangan yudisium. Artinya sebentar lagi kehidupan lebih keji akan kuhadapi: dunia kerja. Ini sering kudengar dari orang-orang, jadi mahasiswa itu enak. Tinggal duduk dikelas, uang saku mengalir lancar, tak peduli studinya lancar juga atau tidak. Yang penting senang-senang. Dan besok aku akan keluar dari zona nyaman tersebut. Aku tak punya persiapan apa-apa. Masa studiku kuanggap nol. Begitulah kenyataanya. Aku tak dapat apa-apa semasa kuliah kecuali cara untuk membolos dan menghambu-hambur uang saku. aku sering dicaci pikiranku sendiri: dibilangnya aku tak berguna. Memang.
Makin tak berguna lagi karena sampai sekarang aku tak kepikiran untuk akan bekerja apa nantinya. Aku merasa tak sesuai dengan bidang apapun. Aku ingin menjelajah. Tapi bagaimana mungkin bila kenyataannya aku tak ber-uang.
Akhir-akhir ini aku sering berdiskusi dengan pikiranku. Aku ingin tak ada kemajuan didunia ini. Tapi apalah daya, manusia selalu berpikiran untuk sok-sok maju. Menciptakan ini itu demi kemudahan katanya. Tapi tanpa sadar mereka menghancurkan diri sendiri, terlebih alamnya. Sayang sekali banyak yang tak mengerti cara berkomunikasi dengan alam. Padahal dewasa ini alam sering berang. Bencana-bencana itu bukan tanpa sebab. Itu adalah kemarahan alam pada manusia. Sungguh sayang sekali.
Kapan orang-orang bisa berjalan kemana-mana tanpa kendaraan, tanpa polusi? Kapan dunia kembali semuda dahulu? Mungkin pikir alam, manusia telah membuatku seperti diri mereka: menua.
Padahal kejadian setelah tua adalah mati. apa yang akan terjadi bila benar alam kemudian mati. sekarang ia sudah tua, dan tak ada yang mau peduli, bahkan untuk sekedar mendengar sebentar.
Aku sering marah pada tuhan, dalam pikiranku tentu saja.
Sudahlah, bila diteruskan aku sendiri yang gila. Kan tak ada yang sependapat dengan ku. Dengan pikiranku sendiri aku sering berdebat adu pendapat. Dengan orang lain tentu aku akan dianggap tak waras. Sekian saja dulu.