Atas luka pedih yang telah tertoreh, mendendamlah aku.
Niat memang bukan untuk menyimpan selamanya.
Tapi keikhlasan tak kunjung tumbuh bersemayam.
Aku sedang mencoba belajar dari selembar daun kering
yang tak memberi amarah pada angin yang telah menjatuhkannya.
Pun meski aku tahu hati mendendam hanya menyakiti diri.
Kepada Tuhan yang Maha Adil aku meminta pemakluman.
Sepotong hati seorang sahaya ini tak bersih, aku mengaku.
Demikian pembelaan atas dendam yang masih kujaga.
Biar kusimpan sampai celaka tigabelas menghampiri sang penebar dendam.
Aku tak peduli seperti apa hidupnya, tapi ia harus tertusuk lebih sakit.
Mengaduh pada rintihan terperih.
Memang dendamku dendam yang ingin membalas.
Kepada ia yang jiwanya membusuk, akan datang sesuatu bergada duri beracun memecah kepalamu.
Hingga bercecer seluruh berserak tak menentu.
Sebut aku iblis, maka kau lebih dari pada itu.
Selasa, 22 Oktober 2013
Soal Benar Salah
Soal benar salah tak ada acuan yang pas benar.
Sama seperti memilih pakaian
Sekalipun indah tiada tara, tak akan sesuai dipakai laki-laki, karena memang sebetulnya pakaian perempuan.
Tapi kita ini, manusia yang katanya punya akal paling tinggi dari seluruh makhluk selalu merasa paling benar.
Sampai-sampai ada perang, bahkan perang saudara.
Akal tak lagi berguna, yang penting nafsu.
Nafsu memporak-poranda, nafsu menghasut, nafsu menghujat, nafsu mengadili.
Tapi semua terjadi tanpa akal.
Semua terjadi dalam selubung yang busuk.
Hakim-menghakimi sudah wajar saja, seperti makan nasi.
Maka tak salah peribahasa gajah dan semut.
Semu ibarat kesalahan orang.
Gajah adalah kesalahan sendiri.
Gajah didepan mata sama sekali tak terlihat, tapi semut di ujung samudera bisa jelas kelihatan.
Sama seperti titik hitam diselembar kertas putih.
Yang diumbar titik hitamnya, bukan banyaknya sisa putih yang tersisa.
Sama seperti memilih pakaian
Sekalipun indah tiada tara, tak akan sesuai dipakai laki-laki, karena memang sebetulnya pakaian perempuan.
Tapi kita ini, manusia yang katanya punya akal paling tinggi dari seluruh makhluk selalu merasa paling benar.
Sampai-sampai ada perang, bahkan perang saudara.
Akal tak lagi berguna, yang penting nafsu.
Nafsu memporak-poranda, nafsu menghasut, nafsu menghujat, nafsu mengadili.
Tapi semua terjadi tanpa akal.
Semua terjadi dalam selubung yang busuk.
Hakim-menghakimi sudah wajar saja, seperti makan nasi.
Maka tak salah peribahasa gajah dan semut.
Semu ibarat kesalahan orang.
Gajah adalah kesalahan sendiri.
Gajah didepan mata sama sekali tak terlihat, tapi semut di ujung samudera bisa jelas kelihatan.
Sama seperti titik hitam diselembar kertas putih.
Yang diumbar titik hitamnya, bukan banyaknya sisa putih yang tersisa.
Selasa, 08 Oktober 2013
Pukul Dua
Disini hanya ada aku, dia dan hujan. Sebenarnya aku bisa saja nekad menerjang curah-curah air itu kembali kerumah, dan membenamkan diri ditebalnya selimut. Tapi aku merasa rugi bila pergi dan membiarkannya disana sendirian. Gadis itu terlalu menarik untukku biarkan begitu saja. Dia berdiri mematung dibawah rimbun pohon, mendongak mengamati jejatuhan air langit tanpa ekspresi apa-apa. Malam-malam begini mustahil melihat hujan, jika saja ia tak berdiri berdekatan dengan lampu jalan.
Aku tau ini pukul dua, jalanan sudah sepi dari kendaraAN. gadis itu menumbuhkan ribuan pertanyaan dibenakku. Diantara dinginnya udara pagi buta. Dia berdiri diseberang jalan itu sudah sejak pertama aku masuk ke minimarket dua puluh empat jam ini. Tak ada tanda-tanda apapun yang membuatnya bergerak, meski sesenti.
Ditanganku sudah ada sepelastik cemilan dan minuman bersoda. Aku tadi sedang berada ditengah tugas kuliah, dan mendapati perutku mulai keroncongan. Beruntung minimarket ini tak jauh dari kontrakan tempatku tinggal. Tak ada hujan ketikaku keluar. Tapi kini aku terjebak. Diantara hujan dan keberadaan gadis itu.
Tak ada siapa-siapa disana. Hanya dia, lampu jalan, dan hujan. Kedua tangannya masuk ke saku jaket dikedua sisi tubuhnya. Tatapannya mengarah pada cahaya lampu seolah mengagumi penuh perasaan. Dia jelas kedinginan. Ada naluri yang mendorongku sekuat tenaga agar aku beranjak mendekati gadis itu. Tapi aku mengabaikannya. Aku tetap pada tempatku berdiri, bergeming, mengikuti apa yang ia perbuat. Bedanya ia hanya menatap hujan, sedang aku tajam menatapnya.
Aku gugup tanpa aba-aba. Dia mengalihkan pandnagannya dari hujan menjadi aku. Dia sama sekali tak memberiku celah untuk sempat melempar pandang kearah lain. Anehnya dia memberiku senyum. Senyum yang menurutku menjadi senyum terindah dari seorang gadis. Kemudian untuk kedua kalinya aku dibuat menjadi lebih pengecut, karena aku tak berani datang mendekatinya. padahal naluriku sudah begitu berambisi untuk menyuruhku berlari menyeberangi hujan. Keberanianku hilang sudah.
Matanya kembali mengabaikanku. Dan aku menunduk, memandangi ujung kaki, tanpa berani mengangkat muka lagi. Ini adalah saat dimana aku murka pada diriku sendiri. Aku mencari-cari keberanianku diantara jari-jari kaki. Tapi disana hanya ada genangan air.
Tiba-tiba genangan air disekitarku menguar. Gadis itu sudah berdiri disamping kiriku. Aku memandanginya sekejap mata. Ada tarikan senyum menawan disudut bibirnya. Senyum yang benar-benar membekukanku. Pandanganku kembali beralih ke jari-jari kaki, lebih cepat dari yang kuduga. Sial, padahal aku masih ingin menatapnya lebih lama. Ternyata kepengecutanku sedang berada diambang batas normal.
"Kenapa kau seolah takut menatapku?"
Suaranya, ini suara paling nyaman terdengar oleh telingaku. Dan lagi-lagi aku terjebak dalam kungkungan kepengecutanku sendiri. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata, membalas pertanyaaannnya. Dan dia paham, sama sekali paham. Karena detik erikutnya dia mulai menceritakan apa yang ia lakukan. Menjawab segala tanya yang hanya meredam dalam benakku.
"Aku senang dengan malam. Juga hujan. Aku bukan siapa-siapa. Dan aku tak ingin apa-apa. Aku tau ini pukul dua pagi buta. Seharusnya semua orang sedang terlelap. Tapi aku justru keluar dan berdiam diri ditengah hujan. Kedengarannya memang sama sekali tak masuk akal. Tapi aku terlalu mencintai malam dan keheningan, terlebih ditengah hujan. Bukan apa-aa, aku hanya merasa bisa memahami diriku sendiri [ada saat begini. Sekumpulan titik-titik air yang jatuh itu mengingatkanku pada amarahku sendiri. Terkadang aku iri pada langit, ia bisa menangis. Meski demikian ia tetap bisa memberi berkah. KAu tahu hujan terkadang membawa bencana. Tapi aku mohon, berpikir positiflah. Langit itu menagis, tapi tangisannya tetap memberi senyum pada ladang-ladang. Aku ingin bisa menangis seperti itu."
Bicaranya berhenti disana. Entah untuk memberi jeda, entah haus, entah menunggu tanggapanku, entah ceritanya memang sampai disana saja. Tak ada tanda-tanda kemungkinan mana yang benar, benakku kembali bertanya-tanya.
"Tataplah aku. Apakah aku terlalu aneh begimu?"
Aku tau, seluruh tubuhnya telah menghadap kearahku. Menunggu sedikit reaksi dariku. Untungnya mataku berani menatapnya. Kali ini lebih lama. Kemudia aku menggeleng sebenta, sebelum kembali terpekur kearah jari-jari kaki.
"Maukah kau datang lagi esok? Aku ingin tau ceritamu. Aku harap kau punya cerita tentang hujan."
Dan dia berjalan pelan, beranjak meninggalkanku. Mungkin dalam hatinya mulai mengumpat tentang aku, yang hanya bisa menatapnya sekejap, dan memberikan sebuah gelengan pelan tanpa ada sepotong suara.
"Jangan..."
Satu kata telah membuat tenggorokankutercekat. Aku butuh ekstra keberanian, tapi sialnya tak ada siapapun yang bisa memberiku bantuan. Aku tau dia berbalik, tapi diam ditempat. Mungkin terlalu kaget pada apa yang aku ucapkan, atau mungkin ia mulai terperanjat tak menyangka kalau aku bisa berbicara.
"Jangan pergi, jangan menunggu esok hari. Tak bisakah kau tetap disini sekarang. Aku tak memiliki kesabaran untuk menunggu kehadiranmu esok. Maka, janganlah pergi."
"Terimakasih kau telah berani meminta. Aku memang mengharapkan kau bisa berucap demikian."
Maka aku berjalan disisinya, mencari tempat teduh lainnya. Ada jarak yang konstan antara lengan kiriku dan lengan kanannya. Kini ia tak lagi berkata-kata. Begitupun aku.
Pukul dua dihari itu aku menemukannya. Dia yang penuh cerita. Mencintai malam dan hujan. Yang menungguku erani mengucap sepotong kata "Jangan". Kemudian aku dan dia berteman, menjadi sahabat yang saling mengerti sekalipun aku tak pandai berkata-kata dan tak berani menatapnya. Aku terharu karena ia benar-benar mengerti.
Pukul dua dini hari itu, ada dua perempuan berjalan bersisian ditengah hujan tanpa berkata-kata tapi mampu saling mengerti. Persahabatan yang tak berbatads pada kata-kata.
***
Untuk dia yang bersahat, kukenang ia.
Selamanya...
Aku tau ini pukul dua, jalanan sudah sepi dari kendaraAN. gadis itu menumbuhkan ribuan pertanyaan dibenakku. Diantara dinginnya udara pagi buta. Dia berdiri diseberang jalan itu sudah sejak pertama aku masuk ke minimarket dua puluh empat jam ini. Tak ada tanda-tanda apapun yang membuatnya bergerak, meski sesenti.
Ditanganku sudah ada sepelastik cemilan dan minuman bersoda. Aku tadi sedang berada ditengah tugas kuliah, dan mendapati perutku mulai keroncongan. Beruntung minimarket ini tak jauh dari kontrakan tempatku tinggal. Tak ada hujan ketikaku keluar. Tapi kini aku terjebak. Diantara hujan dan keberadaan gadis itu.
Tak ada siapa-siapa disana. Hanya dia, lampu jalan, dan hujan. Kedua tangannya masuk ke saku jaket dikedua sisi tubuhnya. Tatapannya mengarah pada cahaya lampu seolah mengagumi penuh perasaan. Dia jelas kedinginan. Ada naluri yang mendorongku sekuat tenaga agar aku beranjak mendekati gadis itu. Tapi aku mengabaikannya. Aku tetap pada tempatku berdiri, bergeming, mengikuti apa yang ia perbuat. Bedanya ia hanya menatap hujan, sedang aku tajam menatapnya.
Aku gugup tanpa aba-aba. Dia mengalihkan pandnagannya dari hujan menjadi aku. Dia sama sekali tak memberiku celah untuk sempat melempar pandang kearah lain. Anehnya dia memberiku senyum. Senyum yang menurutku menjadi senyum terindah dari seorang gadis. Kemudian untuk kedua kalinya aku dibuat menjadi lebih pengecut, karena aku tak berani datang mendekatinya. padahal naluriku sudah begitu berambisi untuk menyuruhku berlari menyeberangi hujan. Keberanianku hilang sudah.
Matanya kembali mengabaikanku. Dan aku menunduk, memandangi ujung kaki, tanpa berani mengangkat muka lagi. Ini adalah saat dimana aku murka pada diriku sendiri. Aku mencari-cari keberanianku diantara jari-jari kaki. Tapi disana hanya ada genangan air.
Tiba-tiba genangan air disekitarku menguar. Gadis itu sudah berdiri disamping kiriku. Aku memandanginya sekejap mata. Ada tarikan senyum menawan disudut bibirnya. Senyum yang benar-benar membekukanku. Pandanganku kembali beralih ke jari-jari kaki, lebih cepat dari yang kuduga. Sial, padahal aku masih ingin menatapnya lebih lama. Ternyata kepengecutanku sedang berada diambang batas normal.
"Kenapa kau seolah takut menatapku?"
Suaranya, ini suara paling nyaman terdengar oleh telingaku. Dan lagi-lagi aku terjebak dalam kungkungan kepengecutanku sendiri. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata, membalas pertanyaaannnya. Dan dia paham, sama sekali paham. Karena detik erikutnya dia mulai menceritakan apa yang ia lakukan. Menjawab segala tanya yang hanya meredam dalam benakku.
"Aku senang dengan malam. Juga hujan. Aku bukan siapa-siapa. Dan aku tak ingin apa-apa. Aku tau ini pukul dua pagi buta. Seharusnya semua orang sedang terlelap. Tapi aku justru keluar dan berdiam diri ditengah hujan. Kedengarannya memang sama sekali tak masuk akal. Tapi aku terlalu mencintai malam dan keheningan, terlebih ditengah hujan. Bukan apa-aa, aku hanya merasa bisa memahami diriku sendiri [ada saat begini. Sekumpulan titik-titik air yang jatuh itu mengingatkanku pada amarahku sendiri. Terkadang aku iri pada langit, ia bisa menangis. Meski demikian ia tetap bisa memberi berkah. KAu tahu hujan terkadang membawa bencana. Tapi aku mohon, berpikir positiflah. Langit itu menagis, tapi tangisannya tetap memberi senyum pada ladang-ladang. Aku ingin bisa menangis seperti itu."
Bicaranya berhenti disana. Entah untuk memberi jeda, entah haus, entah menunggu tanggapanku, entah ceritanya memang sampai disana saja. Tak ada tanda-tanda kemungkinan mana yang benar, benakku kembali bertanya-tanya.
"Tataplah aku. Apakah aku terlalu aneh begimu?"
Aku tau, seluruh tubuhnya telah menghadap kearahku. Menunggu sedikit reaksi dariku. Untungnya mataku berani menatapnya. Kali ini lebih lama. Kemudia aku menggeleng sebenta, sebelum kembali terpekur kearah jari-jari kaki.
"Maukah kau datang lagi esok? Aku ingin tau ceritamu. Aku harap kau punya cerita tentang hujan."
Dan dia berjalan pelan, beranjak meninggalkanku. Mungkin dalam hatinya mulai mengumpat tentang aku, yang hanya bisa menatapnya sekejap, dan memberikan sebuah gelengan pelan tanpa ada sepotong suara.
"Jangan..."
Satu kata telah membuat tenggorokankutercekat. Aku butuh ekstra keberanian, tapi sialnya tak ada siapapun yang bisa memberiku bantuan. Aku tau dia berbalik, tapi diam ditempat. Mungkin terlalu kaget pada apa yang aku ucapkan, atau mungkin ia mulai terperanjat tak menyangka kalau aku bisa berbicara.
"Jangan pergi, jangan menunggu esok hari. Tak bisakah kau tetap disini sekarang. Aku tak memiliki kesabaran untuk menunggu kehadiranmu esok. Maka, janganlah pergi."
"Terimakasih kau telah berani meminta. Aku memang mengharapkan kau bisa berucap demikian."
Maka aku berjalan disisinya, mencari tempat teduh lainnya. Ada jarak yang konstan antara lengan kiriku dan lengan kanannya. Kini ia tak lagi berkata-kata. Begitupun aku.
Pukul dua dihari itu aku menemukannya. Dia yang penuh cerita. Mencintai malam dan hujan. Yang menungguku erani mengucap sepotong kata "Jangan". Kemudian aku dan dia berteman, menjadi sahabat yang saling mengerti sekalipun aku tak pandai berkata-kata dan tak berani menatapnya. Aku terharu karena ia benar-benar mengerti.
Pukul dua dini hari itu, ada dua perempuan berjalan bersisian ditengah hujan tanpa berkata-kata tapi mampu saling mengerti. Persahabatan yang tak berbatads pada kata-kata.
***
Untuk dia yang bersahat, kukenang ia.
Selamanya...
Rabu, 02 Oktober 2013
October 2nd
Di hari batik ini, terjadi beberapa hal secara bersamaan, yang mana bakal keinget terus-terusan.
Pertama, seseorang yang namanya udah aku sebut di postingan sebelumnya, dia yang beberapa waktu ini mengisi pikiran-pikiranku yang super sibuk, sedang bertugas keluar kota, keluar pulau yang jauh sekali dari sini, untuk beberapa bulan hampir setahun. Antara sedih karena beberapa waktu otomatis gak bakal ketemu sama sedih ga bisa nerusin perasaan ini. Tau sendiri kan, aku suka, entah dia seperti apa. Sebetulnya aku masa bodoh tentang dia berperasaan atau tidak padaku, tapi paham kan, sesekali aku bisa merasa tak sabar, sesekali aku bisa merasa penasaran setengah mati sebenernya dia sendiri bagaimana kepadaku. Disisi lain tentunya aku juga takut untuk menerima kenyataan kalau-kalau dia tidak merasakan hal yang sama denganku. Dilematis. Situasi seperti ini tentu saja gak mengenakkan, tapi mau bagaimana, aku tidak punya cukup keberanian.
Sekarang dia sudah berada ribuan mil jauhnya dariku. Aku tidak bisa apa-apa. Meneleponnya? Jangankan melakukan itu, memulai mengetik untuk sms dia aja kadang aku deg-degan sampai berasa jantungku meledak. Ya Tuhan, aku sebetulnya bukan tidak menginginkan keadaan yang seperti ini, tapi dengan kondisi aku yang sendirian, aku kadang sulit mengontrol perasaanku sendiri.
Dia sudah berada bermil-nil jauhnya dariku.
Sedih?
Sudah tentu.
Sebaiknya bagaimana lagi aku harus bersikap? Mungkinkah aku harus menghentikan sampai disini perasaan ini, karena bagi logikaku, semua ini tidak berguna. Logikaku berkata, perasaanku ini takkan berbalas. Tapi siapa bisa menghentikan perasaan seketika?
Cerita lainnya, tadi siang akhirnya aku serahkan laptop dipegadaian, fiuh. Ada hal mendesak yang harus dibayar, mau gak mau, suka gak suka, akhirnya kugadaikan.
Demikian cerita hari ini, Selamat Hari Batik!
Pertama, seseorang yang namanya udah aku sebut di postingan sebelumnya, dia yang beberapa waktu ini mengisi pikiran-pikiranku yang super sibuk, sedang bertugas keluar kota, keluar pulau yang jauh sekali dari sini, untuk beberapa bulan hampir setahun. Antara sedih karena beberapa waktu otomatis gak bakal ketemu sama sedih ga bisa nerusin perasaan ini. Tau sendiri kan, aku suka, entah dia seperti apa. Sebetulnya aku masa bodoh tentang dia berperasaan atau tidak padaku, tapi paham kan, sesekali aku bisa merasa tak sabar, sesekali aku bisa merasa penasaran setengah mati sebenernya dia sendiri bagaimana kepadaku. Disisi lain tentunya aku juga takut untuk menerima kenyataan kalau-kalau dia tidak merasakan hal yang sama denganku. Dilematis. Situasi seperti ini tentu saja gak mengenakkan, tapi mau bagaimana, aku tidak punya cukup keberanian.
Sekarang dia sudah berada ribuan mil jauhnya dariku. Aku tidak bisa apa-apa. Meneleponnya? Jangankan melakukan itu, memulai mengetik untuk sms dia aja kadang aku deg-degan sampai berasa jantungku meledak. Ya Tuhan, aku sebetulnya bukan tidak menginginkan keadaan yang seperti ini, tapi dengan kondisi aku yang sendirian, aku kadang sulit mengontrol perasaanku sendiri.
Dia sudah berada bermil-nil jauhnya dariku.
Sedih?
Sudah tentu.
Sebaiknya bagaimana lagi aku harus bersikap? Mungkinkah aku harus menghentikan sampai disini perasaan ini, karena bagi logikaku, semua ini tidak berguna. Logikaku berkata, perasaanku ini takkan berbalas. Tapi siapa bisa menghentikan perasaan seketika?
Cerita lainnya, tadi siang akhirnya aku serahkan laptop dipegadaian, fiuh. Ada hal mendesak yang harus dibayar, mau gak mau, suka gak suka, akhirnya kugadaikan.
Demikian cerita hari ini, Selamat Hari Batik!
Langganan:
Postingan (Atom)